Oleh:
Dr. H. Eddy Pranjoto W., SH., MPA., M.Si. (Dosen STIH YPM Sidoarjo)
Kalimat koruptor bersama istri jika diwujudkan secara nyata, sering kita lihat dalam hidup keseharian. Kata koruptor dalam bahasa Indonesia yang baku berarti orang melakukan korupsi. Sedangkan kata korupsi terambil dari kata korup yang artinya buruk, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Kata korup ditambah imbuhan si menjadi kata korupsi, yang berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dengan demikian jika sebagian orang menganggap bahwa, kata koruptor hanya diberikan kepada pelaku yang mencuri keuangan rakyat (baca: Negara) dengan jumlah milyaran rupiah saja adalah sebenarnya keliru sekali. Sementara itu, kata istri secara kebahasaan adalah perempuan yang telah menikah atau yang bersuami. Dalam kamus bahasa Indonesia istri juga disebut garwa, terambil dari bahasa Jawa garwo. Garwo sering dimaknai sigaraning nyowo oleh orang Jawa, artinya dalam bahasa Indonesia sama dengan separuhnya nyawa atau belahan jiwa. Belahan jiwanya siapa ?, yaitu tidak lain adalah suami. Makna belahan jiwa menunjukkan, begitu dekatnya hubungan kedua manusia yang berlainan jenis dan terikat perkawinan itu. Sehingga sebelum mempunyai anak, hubungan suami yang paling dekat dan sangat dekat adalah dengan istrinya. Hubungan dengan orang tua, saudara dan teman sangat jauh ketimbang hubungan dengan istrinya. Jika kemudian mempunyai anak, maka hubungan terdekat suami mulai terpecah. Hubungan suami terdekat pertama, adalah dengan istri dan hubungan terdekat kedua, dengan anaknya. Begitu dekatnya hubungan suami-istri tersebut, sehingga apa yang dilakukan suami, istri akan mengetahui. Begitu juga sebaliknya, mereka juga akan selalu berbagi senang dan duka.
Istri lebih tahu ketimbang penegak hukum
Koruptor sudah membumi disemua sektor pelayanan publik, seiring getolnya KPK, Polisi, Jaksa dan Hakim yang memegang amanah rakyat untuk memberantas koruptor. Ada koruptor yang ditangkap dan ada koruptor yang diloloskan. Sebutan koruptor dapat pula diberikan kepada petugas parkir yang tidak memberikan karcis pada orang yang parkir, petugas pajak yang memanipulasi bon di rumah makan, petugas imigrasi yang mempersulit permohonan paspor karena tidak memberi imbalan, dosen tidak meluluskan peserta ujian karena tidak diberi imbalan, anggota dewan yang mempermudah rancangan undang-undang menjadi undang-undang karena diberi imbalan dan/atau penyelenggara negara mempermudah pelayanan publik karena diberi imbalan. Hanya saja imbalan itu sekarang dibuat dengan istilah keren, yaitu gratifikasi. Akan tetapi arti harfiahnya sama saja, yaitu menerima uang sogok. Masalahnya adalah, siapa yang lebih dahulu mengetahui adanya koruptor?. Apakah KPK, polisi, jaksa atau hakim yang lebih dahulu mengetahui perbuatan koruptor?. Tentu saja tidak, dan orang lebih dulu mengetahui koruptor adalah orang yang paling dekat dengannya, yaitu istrinya atau belahan jiwanya.
Mengapa istri yang paling mengetahui perbuatan koruptor?. Secara normatif dan sosiologis, istri akan mengetahui berapa gaji suaminya. Jika gaji suami setiap bulan Rp. 7.500.000,- maka secara matematis selama 5 tahun gaji yang diterima suami genap sebesar Rp. 450.000.000,- (itupun jika tidak sakit dan kehidupan rumah tangganya ditanggung mertua). Sementara itu selama kurun waktu 5 tahun, suami dengan sabar dan tawakal menanti tingkat kesejahteraan serta menahan untuk tidak menikmati gebyarnya dunia secara berlebihan (misalnya membeli mobil baru, rumah baru, mengajak pergi haji plus Rp. 70.000.000,-/perorang atau kenikmatan lainnya), maka dapat dipastikan istri mengetahui suaminya bukanlah seorang koruptor. Sebaliknya, jika selama kurun waktu itu suami memberikan gebyarnya dunia kepada istri, sedangkan suami tidak pernah menerima warisan, menjadi perantara di luar dinasnya atau mencari tambahan pengasilan yang halal, maka dapat dipastikan pula bahwa istri mengetahui perbuatan suaminya, yairu sebagai seorang koruptor. Istri memang dapat sebagai penyulut suami untuk menjadi koruptor. Dikatakan sebagai penyulut, jika istri mendiamkan pemberian suami di luar gaji yang ia terima, tanpa menanyakan darimana asalnya. Tidak peduli darimana suami memperoleh tambahan gajinya, yang penting baginya. Ia dapat ikut menikmati gebyarnya dunia modern. Sebaliknya, istri yang berbudi pekerti baik. Ia dapat sebagai penyejuk hati suami dan tidak merangsang suami agar memberi gebyarnya dunia secara tercela. Ingat, Nabi Adam melakukan dosa karena rayuan ibu Siti Hawa untuk memakan pohon larangan Tuhan. Kiranya tidak berlebihan jika seorang istri, khususnya istri koruptor meneladani ibu Siti Hajar (istri Nabi Ibrahim), yang dengan tawakal mengabdi kepada suami, meskipun sama sekali tidak diberi kemewahan. Namun tetap dengan tekun mendidik anaknya, Ismail.